TUGAS : METODE RISET (TEMA DAN JURNAL)
Tulus T.H. Tambunan dan Ida Busnety
MEMPERKUAT EKONOMI RAKYAT LEWAT TEKNOLOGI
Pentingnya Ekonomi Rakyat
Ada dua alasan
utama kenapa ekonomi rakyat merupakan suatu isu penting di dalam perekonomian
Indonesia. Pertama, kemiskinan hingga saat ini masih merupakan salah satu
masalah serius. Walaupun jumlah orang miskin sebagai persentase dari jumlah
penduduk terus menurun, di lapangan kenyataannya berbeda, kemiskinan semakin
nyata. Tidak hanya itu, jumlah orang yang rentan terhadap kemiskinan juga
banyak,yakni mereka yang saat ini masih banyak berada di atas garis kemiskinan.
Sedikit saja ada goncangan seperti kenaikan harga pangan atau enerji, mereka
langsung jatuh miskin. Kedua, masalah pengangguran yang juga sulit dituntaskan.
Di satu sisi, jumlah penduduk yang berarti juga jumlah angkatan kerja yang
membutuhkan pekerjaan bertambah, namun disisi lain, kesempatan kerja yang
disediakan di sektor formal semakin terbatas. Karena Indonesia tidak memiliki
tunjangan pengangguran seperti di negara-negara welfare states di Eropa Barat,
maka mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal terpaksa
melakukan pekerjaan apa saja di sektor informal. Jadi, sektor informal selama
ini berfungsi sebagai pekerjaan the last resort bagi orang-orang yang tidak
mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Pendefinisian ekonomi rakyat hingga saat ini belum tuntas. Apa yang dimaksud
dengan ekonomi rakyat? Siapa yang termasuk rakyat dan siapa yang tidak? Apakah
seorang konglomerat berwarga negara dan tinggal di Indonesia bukan termasuk
rakyat, sehingga perusahaannya tidak dianggap ekonomi rakyat?. Namun ada
semacam kesepakatan umum bahwa usaha-usaha yang masuk di dalam kategori ekonomi
rakyat adalah usaha mikro (UMI), usaha kecil (UK), atau gabungan usaha mikro
dan kecil (UMK). Perusahaan tersebut pada umumnya tidak terdaftar, tidak
memiliki izin usaha. Kebanyakan dari UMK digolongkan sebagai sektor informal.
Sebagian besar dari jumlah unit usaha di Indonesia adalah kategori UMK (Tabel
1). Pada tahun 2007 misalnya, dari 50 juta perusahaan yang tercatat, sekitar 99
persen lebih adalah kategori UMK. Berbeda dengan usaha menengah (UM), usaha
besar (UB), dan digabung menjadi usaha menengah dan besar (UMB), UMK sangat
padat karya. Oleh karena itu, keberadaan UMK menandakan keberadaan ekonomi
rakyat, dan menjadi sangat krusial terutama dikaitkan dengan upaya-upaya
pemerintah dalam mengurangi jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Kendala Ekonomi Rakyat
Walaupun ekonomi rakyat dianggap penting,
namun dalam kenyataannya UMK sulit untuk berkembang, karena berbagai hambatan. Hambatan atau intensitas hambatannya berbeda di satu daerah dengan di
daerah lain, antara perdesaan dan perkotaan, antar sektor, atau antar sesama
unit usaha di sektor yang sama. Namun demikian, persoalan umum UMK adalah
keterbatasan modal kerja maupun investasi; kesulitan dalam pemasaran,
distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya; keterbatasan sumber daya
manusia (SDM), teknologi, dan akses ke informasi mengenai peluang pasar dan
lainnya; biaya transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan komunikasi;
dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan ekonomi yang
tidak jelas arahnya.
Survei BPS
(2003, 2005) terhadap UMK di industri manufaktur menunjukkan permasalahan
klasik dari usaha rakyat ini (Tabel 2). Permasalahan utama adalah keterbatasan
modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim kredit khusus bagi
pengusaha mikro dan kecil, sebagian besar dari responden terutama yang
berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau
lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada
uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/kenalan atau dari
sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya
beragam; tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim khusus tersebut, ada
yang pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk
didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya prosedur administrasi, atau
tidak mampu memenuhi persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak
pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari
lembaga keuangan formal.
Selain itu, UMK
mengalami keterbatasan SDM dan lemahnya kemampuan teknologi. Hal ini tidak
hanya membuat buruknya kualitas produk yang dihasilkan, tetapi juga membuat
rendahnya produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja di UMK jauh lebih
rendah daripada di UMB (Gambar 1 dan Gambar 2). Banyak literatur mengenai UMK
di negara sedang berkembang (NSB) dibandingkan UMK di negara maju (NM) adalah
tingkat produktivitas. Khusus di industri manufaktur, produktivitas tenaga
kerja di UMB pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,6 juta per pekerja,
sedangkan di UMK hanya Rp 19,8 juta per pekerja. Pada tahun 2001, produktivitas
tenaga kerja di kelompok usaha pertama Rp 167,70 juta, bandingkan Rp 10,98 juta
di kelompok usaha kedua.
Dalam hal
pemasaran, UMK pada umumnya tidak punya sumber-sumber daya untuk mencari,
mengembangkan, memperluas pasar. Mereka sangat tergantung pada mitra dagang,
misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house, atau tergantung pada
konsumen yang datang langsung ke tempat produksi mereka; adapula keterkaitan
produksi dengan UMB lewat sistem subcontracting, namun persentasenya kecil.
Sumber Modal UMKM
Indonesia
seperti di NSB umumnya (juga di NM), sebagian besar modal kerja maupun
investasi di UMK adalah dari sumber informal. Sumber terbasar dari modal di
kelompok usaha tersebut bukan dari sektor keuangan formal, termasuk
lembaga-lembaga keuangan mikro, tetapi dari modal sendiri, seperti uang
tabungan pemilik usaha, bantuan dari keluarga, pinjaman dari pedagang atau pemasok
bahan baku, peminjam-peminjam informal, atau dari pembeli/konsumen dalam bentuk
pembayaran (sebagian atau sepenuhnya) di muka (Tabel 3). Modal sendiri mencapai
82 persen dari jumlah modal yang diperlukan di dalam kelompok UMI, dan hampir
69 persen di dalam kelompok UK.
Selanjutnya, UK
yang menggunakan pinjaman sebagai modal pembiayaan kegiatan produksi, sebagian
besar meminjam, seluruhnya atau sebagian berasal dari perbankan (Tabel 4).
Sedangkan di dalam kelompok UMI, bagian terbesar adalah pinjaman dari keuarga.
UMI mungkin lebih sulit mendapatkan kredit perbankan dibandingkan UK.
Survei BPS
tahun 2006 untuk UMK dan UM di semua sektor ekonomi (Tabel 5) juga
memperlihatkan kecenderungan yang sama hasil survei BPS 2005. Sumber modal UM
lebih banyak dari perbankan daripada UMK. Pertanyaannya adalah apa yang
penyebabnya? Apakah karena UMK lebih enggan meminjam dari bank atau memang bank
lebih mempersulit akses dana buat UMK?
Berbagai alasan
tingkat kesulitannya bervariasi antara UMK (bahas lebih 1 alinea isi tabel 6),
diantaranya adalah kesulitan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit dari
bank, misalnya tidak punya agunan ; walaupun. (Tabel 6). Penelitian SMEDC-UGM
tahun 2002, seperti yang dikutip oleh Kuncoro (2008a) adalah tidak adanya
agunan merupakan penyebab utama tidak meminjam kredit dari bank (Gambar 3).
Masalah agunan ini ada kaitannya dengan kondisi keuangan dari pemilik
usaha/pengusaha. Pada umumnya pemilik UMK adalah dari keluarga miskin yang
nilai total dari asetnya seperti rumah atau tanah tidak memenuhi nilai jaminan
yang diharuskan oleh perbankan.
Masalah
sulitnya mendapatkan akses ke sumber pendanaan formal lebih dirasakan oleh
wanita pengusaha yang bergerak di UMK dan UM, terutama di UMK,. Ini bahkan
merupakan suatu permasalahan kunci bagi banyak wanita pengusaha di Indonesia,
terutama di UMK yang berlokasi di perdesaan. Problem ini erat kaitannya dengan
hak-hak kepemilikan aset, sehingga membuat mereka tidak mampu memenuhi
persyaratan. Di Indonesia, seperti umumnya di NSB, lelaki tetap diangap sebagai
kepala rumah tangga, lelaki tetap dianggap sebagai pemilik/pewaris resmi dari
semua aset keluarga seperti tanah, perusahaan dan rumah.
Sumber-sumber Peralihan Teknologi ke UMK
Sebuah
perusahaan, baik itu UMB maupun UMK, harus meningkatkan kapasitasnya untuk
meningkatkan, atau paling tidak mempertahankan tingkat daya saingnya, agar
terjamin kelangsungan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang. Elemen kunci
dari pengembangan kapasitas adalah akumulasi pengetahuan atau pengembangan teknologi.
Jadi, dalam hal ini adalah kemampuan suatu perusahaan memperbanyak pengetahuan
atau mengembangkan teknologinya.
Pengembangan
teknologi di UMK bisa terjadi secara internal di dalam perusahaan atau bisa
difasilitaskan lewat akses ke sumber-sumber luar. Jika teknologi berasal dari
luar perusahaan, maka disebut alih teknologi. Banyak definisi dan konsep yang
diberikan terhadap alih teknologi. Misalnya, Fransman (1986:7) mendefinisikan
alih teknologi internasional sebagai suatu process whereby knowledge relating
to the transformation of inputs into outputs is acquired by entities within a
country (for example, firms, research institutes, etc.) from sources outside
that country. Jadi peralihan teknologi dari satu negara ke negara lain yang
dibutuhkan untuk memproses input menjadi output. Sedangkan, Thee (1988:183)
memberikan beberapa konsep mengenai alih teknologi. Pertama, penggunaan
teknologi yang dialihkan secara efektif dalam lingkungan yang baru. Konsep ini
tidak memperhatikan asal usul masukan-masukan produksi yang dipergunakan dalam
proses produksi, asal proses ini berjalan dengan lancar. Kedua, teknologi
dianggap telah dialihkan dengan baik jika angkatan kerja setempat mampu
menangani teknologi yang diimpor secara efisien. Misalnya, menurut konsep ini
alih teknologi berjalan dengan baik jika pekerja di pabrik bersangkutan telah
memperoleh keterampilan yang memadai untuk menjalankan dengan baik mesin yang
diimpor, memeliharanya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, dan mampu
memperbaiki kerusakan mesin. Konsep ini juga meliputi kemampuan para manajer
lokal untuk menyusun jadwal proses produksi, rencana pemasaran, dan sebagainya.
Ketiga, alih teknologi telah terjadi dengan baik jika
teknologi yang diimpor mulai tersebar ke perusahaan lokal lainnya. Keempat,
alih teknologi dianggap telah berlangsung dengan baik jika teknologi yang
diimpor telah dipahami dan dikuasai sepenuhnya oleh staf teknis dan para
pekerja lokal, dan jika teknologi impor ini mulai diubah dan disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan khas dari keadaan lokal.
Hingga saat ini, litaratur mengenai peralihan teknologi sudah sangat banyak,
namun fokusnya lebih pada peralihan antar negara, terutama dari NM ke NSB, dan
tidak terlalu banyak studi yang khusus UMK dan UM. Menurut Dahlman, dkk (1985),
Soesastro (1998), UNCTC, (1987), Tambunan (2006), ada banyak cara mentransfer
teknologi antar negara, dan jalur yang umum digunakan dalam alih teknologi
adalah sebagai berikut: (1) penanaman modal asing (PMA) atau perusahaan asing,
baik dalam bentuk afiliasi yang sepenuhnya milik asing maupun dalam bentuk
sebuah patungan (JV) dengan perusahaan lokal. Pentingnya PMA sebagai salah satu
sumber teknologi bagi NSB sering terjadi melalui sistem subcontracting dengan
perusahaan-perusahaan lokal yang membuat input, komponen, suku cadang atau
barang setengah jadi; (2) persetujuan lisensi teknologi/teknis dari sebuah
perusahaan asing (tidak harus selalu PMA) sebagai pemilik kepada sebuah
perusahaan lokal di bawah suatu pengawasan yang ketat dari pemilik ; (3)
turnkey projects/plants: teknisi lokal terlibat, penuh atau hanya pada bagian
tertentu dari pembuatan suatu produk asing; (4) perdagangan, atau lebih
spesifik lagi, impor barang-barang modal atau antara yang dapat digunakan oleh
perusahaan-perusahaan lokal sebagai suatu model untuk merekayasa ulang. Selain
itu, ekspor juga merupakan sumber alih teknologi. Karena agar ekspor tetap laku
maka kualitas dari barang ekspor harus terus diperbaiki sesuai dengan
permintaan pasar atau syarat-syarat dari pembeli, dan untuk memenuhi
syarat-syarat tersebut terjadi arus informasi mengenai teknologi dari pembeli
ke penjual; (5) pelatihan dan pendidikan, di mana mahasiswa atau pekerja dari
NSB belajar atau mengikuti program-program pelatihan atau kuliah di NM; (6) bantuan
teknis dan konsultansi yang diberikan oleh tenaga-tenaga ahli atau
perusahaan-perusahaan dari NM kepada perusahaan-perusahaan di NSB; (7) arus
informasi publik mengenai kemajuan teknologi lewat antara lain
penjelasan-penjelasan paten, program-program televisi, majalah-majalah dan
jurnal-jurnal teknologi dan ilmu pengetahuan internasional; (8) kunjungan
pekerja dan teknisi dari NSB ke pabrik di NM; dan (9) membuat alat/mesin asli,
perusahaan lokal di NSB membuat produk tertentu sesuai klasifikasi spesifik
yang ditetapkan oleh perusahaan di NM.
Telah disebut
di atas bahwa PMA termasuk salah satu sumber penting teknologi bagi
perusahaan-perusahaan di NSB. Dari sisi sektor swasta di dalam negeri, selain
PMA, UMB nasional juga berperan sebagai salah satu sumber teknologi bagi UMK,
umumnya lewat keterkaitan produksi subcontracting. Selain itu ada cara tidak
langsung dalam peralihan teknologi dari PMA atau dari UMB yakni lewat
mobilisasi tenaga kerja yang pindah dari PMA atau UMB ke UMK. Pekerja-pekerja
yang telah sekian lama bekerja di PMA atau UMB telah mendapatkan banyak
pengetahuan dan ini bisa menjadi sumber inovasi di UMK.
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, dari literatur yang ada mengenai transfer teknologi,
khususnya lewat subcontracting, kasus-kasus mengenai UMK tidak terlalu banyak.
Di NSB di Asia, bukti-bukti adanya keterkaitan produksi dalam sistem
subcontracting yang intensif antara UMK dan UMB atau PMA hanya terdapat di
negara yang tingkat industrialisasinya sudah maju seperti Korea Selatan, Taiwan
dan Singapura, dan juga Thailand dan Malaysia. Di Singapura, misalnya,
subcontracting antara perusahaan-perusahaan PMA dan UMK lokal sangat kuat, dan
sangat berdampak positif terhadap perkembangan sektor industri manufakturnya,
khususnya di kelompok-kelompok industri elektronik dan komputer (Hew 2004)
Demikian juga di Malaysia di industri elektroniknya, keterkaitan produksi antar
perusahaan, khususnya antara PMA dan pemasok-pemasok lokal berkembang pesat,
yang antara lain disebabkan oleh persaingan yang sangat ketat dan perubahan
teknologi yang memaksa UB atau UM mensubkontrakkan bagian-bagian tertentu ke
UMK (Kanapathy 2004).
Sayangnya, dari
literatur yang ada tersebut, peran perguruan tinggi, lembaga R&D dan
departemen-departemen pemerintah sebagai sumber-sumber pengembangan teknologi
di UMK di negara berkembang masih relatif sedikit. Padahal perguruan tinggi
tinggi bisa sangat penting peranya dalam mendukung upaya pengembangan teknologi
atau kegiatan inovasi di UMK lewat misalnya program-program pelatihan,
pembinaan atau pendampingan seperti yang banyak dilakukan oleh dosen-dosen
dalam rangka memenuhi kewajiban mereka dalam pengabdian masyarakat. Lembaga
R&D juga bisa memberikan suatu kontribusi penting, misalnya dalam bentuk
kerjasama penelitian/pengembangan suatu metode produksi atau produk.
Kesimpulan dari studi mengenai peralihan teknologi ke UMK adalah sebagai
berikut. Pertama, peran UMB (termasuk PMA)
lebih besar daripada peran perguruan tinggi, lembaga R&D atau departemen
pemerintah. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh desakan pasar, yang
memaksa UMB mencari pemasok-pemasok untuk komponen tertentu demi efisiensi.
Contohnya, pembuatan suatu produk seperti komputer, mobil, pesawat, dll. sudah
tidak lagi hanya oleh satu perusahaan melainkan melibatkan banyak perusahaan,
bahkan lintas negara. Sedangkan perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang
biasanya mempunyai anggaran tetap setiap tahun tidak terdorong untuk membantu
UMK jika tidak diharuskan oleh pemerintah. Kedua, kegiatan subcontracting di
NSB, yang intensif antara UMK dan UMB hanya ada di sejumlah kecil negara.
Karena UMK tidak/belum mampu berfungsi sebagai subkontraktor yang efisien dan
berdaya saing tinggi yang mampu memenuhi persyaratan dari UMB. Penyebab
utamanya adalah keterbatasan UMK terhadap modal dan penguasaan teknologi dasar
yang membuat biaya besar bagi UMB jika UMK tersebut dipaksakan menjadi
subkontraktor-subkontraktornya.
Peralihan Teknologi ke UMK di Indonesia
Peran Usaha Menengah dan Besar (termasuk PMA)
Di Indonesia,
walaupun ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah sejak zaman Orde Baru
untuk mengembangkan kerjasama antara UMK dengan UMB (termasuk PMA), terutama
dalam sistem subcontracting, akan tetapi kenyataannya sistem keterkaitan
produksi ini masih relatif lemah. Selama era
Orba, pemerintah menerapkan suatu sistem proteksi dan peraturan-peraturan
mengenai kandungan lokal (“deletion program”) di sejumlah kelompok industri,
termasuk mesin, elektronik dan otomotif, sebagai bagian dari kebijaksanaan
substitusi impor (SI). Rasional kebijaksanaan kandungan lokal tersebut adalah
untuk mengembangkan industri sendiri diperlukan suatu kepastian pasar di dalam
negeri, yang selanjutnya berarti bisa meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi
dari industri nasional (TAF, 2000). Selain itu, kebijaksanaan kandungan lokal
itu diharapkan bisa menciptakan suatu pola pembangunan industri yang mengikuti
model piramid industri dari Jepang, di mana semua lapisan saling tersambung dan
saling mendukung. UMK pada tingkat dasarnya mendukung UM, dan UM mendukung UB
pada ujung atas dari piramid tersebut. UMB di industri yang dilindungi dari
impor juga dituntun oleh berbagai macam peraturan dan fasilitas untuk memakai
bahan baku, komponen, dan input lainnya yang diproduksi di dalam negeri, terutama
dari UMK. Keterlibatan UMK sebagai subcontracting di dalam produksi dalam
negeri dipercayai sebagai suatu cara yang efektif.
Namun kebijaksanaan industri tersebut ternyata tidak menghasilkan struktur
piramid a’la Jepang. Sebaliknya, kebijaksanaan itu telah menghasilkan suatu
sistem produksi terintegrasi kuat secara vertikal diantara sesama UB. The Asia
Foundation (TAF, 2000) menegaskan bahwa kegagalan dalam menciptakan saling
ketergantungan yang kuat antara UMK dengan UMB adalah terutama karena intervensi
pemerintah terlalu besar, yang bertujuan menggantikan mekanisme pasar.
Pemerintah menetapkan produk-produk atau industri-industri mana yang
mendapatkan prioritas di dalam kebijaksanaan tersebut, dan memberikan
insentif-insentif fiskal sesuai dengan jenis produk atau tipe industri yang
mendapatkan prioritas. Penentuan prioritas tidak selalu didasarkan pada
pertimbangan ekonomi, seperti kapasitas UMK untuk melakukan investasi dan
penyerapan teknologi.
Menurut Thee (1990), hanya di industri otomotif yakni PT ASTRA Internasional
dapat dikatakan berhasil hingga tingkat tertentu menaikkan kandungan lokal di
dalam perakitan/pembuatan otomotif, sebaliknya untuk industri lainnya. PT ASTRA
International mampu mengembangkan sejumlah UMK dan UM menjadi perusahaan
pemasok komponen otomotif yang layak dan efisien. Sebagai hasil dari
pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh PT ASTRA Internasional kepada
pemasok-pemasok lokal yang berpotensi, maka dalam waktu singkat,
pemasok-pemasok tersebut sudah mampu membuat beragam jenis komponen dan
onderdil untuk bebagai merek mobil dan motor Jepang sesuai standar kualitas dan
mensuplainya sesuai jadwal yang ditetapkan oleh PT ASTRA Internasional
(Tambunan, 2010).
Thee (1990b, 1997) juga memberikan argumen yang sama bahwa keterkaitan
produksi antara UMK dan UMB atau antara perusahaan lokal dengan PMA di sektor
industri tidak berkembang lancar selama era Orde Baru karena distorsi pasar
akibat intervensi pemerintah. kekurangan keterampilan/pendidikan dan rendahnya
kemampuan teknologi dari perusahaan-perusahaan lokal, terutama UMK. SRI
International (1992) juga menemukan bahwa keterkaitan produksi antara UMB dan
sentra-sentra UMK sangat lemah dan hanya sebagian kecil dari sentra-sentra yang
ada di Indonesia (dan semuanya terdapat di Jawa) yang mempunyai hubungan
subcontracting dengan UMB. Studi-studi lainnya seperti Sato (2000), Supratikno
(2001), dan JICA (2000) juga menyimpulkan hal yang sama bahwa subcontracting
antara UMB dan UMK lemah, terutama karena UMK tidak bisa memenuhi standar
kualitas yang diminta oleh UMB, dan hal ini jelas karena keterbatasan UMK atas
teknologi dan SDM.
Selain dalam bentuk subcontracting, aliansi strategis antara UMK dan UMB
juga sangat krusial sebagai salah satu sumber teknologi bagi UMK. Namun tidak mudah
mendapatkan kasus-kasus keberhasilan pengembangan AS antara UMK dan UMB di
Indonesia. Kasus-kasus yang ada antara lain adalah kasus kluster industri
pakaian jadi di Bali, dan kasus-kasus mengenai kluster-kluster UKM lainnya yang
tersebar di Jawa seperti kluster industri mebel di Jepara, kluster industri
komponen mesin di Ceper, kluster industri pengerjaan logam di Tegal, kluster
industri komponen-komponen tertentu dari pakaian batik di sekitar Yogyakarta
dan industri mobil dan motor Astra. Di beberapa kasus ini (terkecuali Astra),
arus informasi, bantuan teknis dan lainnya banyak berasal dari pembeli-pembeli
asing, yang mencari produk-produk berkualitas untuk pasar ekspor dan mau
memberi bantuan kepada produsen-produsen lokal di kluster-kluster tersebut agar
bisa membuat produk-produk dengan kualitas yang mereka inginkan.
Dari kasus Bali tersebut yang ditelitinya, Cole (1998:256) menyimpulkan betapa
pentingnya aliansi strategis antara produsen-produsen lokal dengan
pembeli-pembeli mereka dari luar negeri sebagai berikut, a more effective
private sector solution would be ’strategic alliances’, or the transfer of
knowledge as a natural part of coperative long-term business relationships. In the context of
such relationships, buyers of products and vendors of technology and capital
often provide information-related assistance to less developed firms as a
normal part of doing business. Such transfers are driven by long-term profit
motivation and have nothing to do with welfare. To work, knowledge transfer through
strategic alliances has to be entirely voluntary and must provide enough
returns for the knowledge provider to cover the costs and the risks involved.
Penelitian Tambunan (2006) terhadap lebih dari 100 UMK dan UM di Indonesia juga
menambah bukti empiris bahwa di dalam kelompok UMK dan UM, aliansi strategis
cukup popular terutama diantara UM. Ia meneliti 124 responden, kebanyakan
adalah UM, dan menemukan lebih dari 50 persen dari mereka pernah mempunyai
aliansi strategis dengan perusahaan lain. Namun demikian, persentase dari
mereka yang punya aliansi strategis bervariasi menurut industri. Sebagian besar
dari perusahaan yang diteliti di kelompok industri makanan, minuman, dan
tembakau, dan industri yang membuat produk logam seperti mesin-mesin, alat-alat
produksi, dan barang modal lainnya pernah punya beberapa tipe aliansi strategis
dengan perusahaan lain, sedangkan proporsi di kelompok industri lainnya sangat
rendah. Kebanyakan dari perusahaan-perusahaan yang diteliti mempunyai lebih
dari satu tipe aliansi strategis. Tipe aliansi strategis yang paling penting
adalah kesepakatan kerja sama jangka panjang dalam pemasaran, aliansi
pembeli-pemasok, dan kerjasama dalam teknologi. Dalam hal jenis bantuan yang
didapat oleh perusahaan mitra aliansi strategis yang terpenting adalah
teknologi, informasi pasar, dan pelatihan keahlian pekerja. Beberapa dari jenis aliansi strategis di tabel tersebut (BELUM ADA
TABELNYA???) dijelaskan secara garis besar di sini. Kesepakatan pemasaran
jangka panjang punya tiga sub-tipe, yakni pemasaran, distribusi, dan produksi.
Diantara sub-tipe tersebut, frekuensi (dalam arti yang banyak dilakukan oleh
responden) dari kesepatakan dalam pemasaran lebih tinggi daripada frekuensi
dari kesepakatan-kesepakatan dalam distribusi dan produksi. Kontrak/lisensi luar bisa jangka pendek atau jangka panjang, tergantung
terutama dari jenis kegiatan. Hasil survei menunjukkan bahwa dari mereka yang
memiliki aliansi strategis dalam jenis ini lebih banyak yang memilih jangka
pendek. Mereka menganggapnya lebih menarik terutama karena tidak membuat
ketergantungan yang terlalu lama pada pihak lain. Aliansi teknologi adalah
suatu kerja sama dalam melakukan R&D, baik dalam produk yang dibuat maupun
proses produksinya, ternyata R&D dalam proses produksi lebih penting
daripada dalam membuat produk bagi sebagian responden yang memilih jenis
aliansi strategis ini..
Sedangkan, penelitian The Asia Foundation (TAF, 2000) menunjukkan bahwa
sebagian besar dari respondennya yang memiliki aliansi strategis adalah dalam
kerjasama pemasaran, bukan aliansi teknologi (yakni pengembangan atau difusi
teknologi). Penelitiannya mencakup 300 perusahaan di tiga subsektor
manufakktur, yaitu agro misalnya makanan, produk kayu dan pakaian di enam
wilayah yaitu Sumatra Utara, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Bali.
Menyangkut
jenis bantuan yang diterima oleh para responden dari mitra aliansi strategis
yang paling banyak adalah teknologi, informasi pasar, dan pelatihan
ketrampilan. Bantuan seperti ini dianggap sebagai bentuk konkrit dari
keuntungan dari membangun suatu aliansi strategis sehingga dapat meningkatkan
kapasitas produksi, kualitas produk, efisensi dalam proses produksi,
produktivitas tenaga kerja, dan yang akhirnya tingkat daya saing perusahaan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di dalam studi ini juga dilakukan sebuah
survei terhadap sejumlah UMK di klaster industri pengerjaan logam di Kabupaten
Tegal, Jawa Tengah. Tegal termasuk satu dari sejumlah kecil wilayah di
Indonesia yang mempunyai suatu sejarah panjang perkembangan industri pengerjaan
logam. Tegal menjadi pusat pengerjaan logam sejak pertengahan 1800-an pada saat
wilayah itu masih merupakan tempat dari sejumlah pabrik gula dan perusahaan
terkait termasuk bengkel lokomotif dan pabrik-pabrik pemprosesan logam.
Industri logam di Tegal terus berjalan hingga saat ini, yang pernah mengalami
perkembangan pesat pada masa Orde Baru, saat pembangunan infrastruktur dan
ekonomi sangat pesat. Kegiatan subcontracting pertama di industri pengerjaan
logam di Kabupaten ini muncul pada awal dekade 80-an, bersamaan dengan
dimulainya kegiatan pemerintah untuk mengembangkan industri pengerjaan logam di
Indonesia.
Penelitian
mendalam terhadap 34 responden termasuk beberapa pemilik perusahaan inti dan
plasma, beberapa pemilik perusahaan lokal yang hanya memasok pasar-pasar eceran
dan grosir, pejabat-pejabat tertentu pemerintah lokal, dan sejumlah lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Responden-responden tersebut diseleksi dari empat
wilayah di Kabupaten Tegal, yakni Adiwerna, Talang, Desa Kebasen dan Desa
Dampyak. Beberapa dari mereka diwawancarain secara semi-terstruktur, termasuk
pejabat-pejabat pemerintahan lokal yang relevan, untuk membicarakan
inisiatif-inisiatif pemerintah untuk penyebaran teknologi dan sejarah perkembangan
keterkaitan produksi lewat sistem-sistem subcontracting di Tegal, sedangkan
responden-responden lainnya di wawancarain secara mendalam, termasuk
representatif-representatif dari dua subkontraktor lokal (inti) dari PT Komatsu
Indonesia Tbk (sebut KI), yang merupakan sebuah perusahaan afiliasi dari PMA
Jepang yang paling dominan di klaster tersebut dalam kegiatan subcontracting.
Studi kasus ini memusatkan perhatian pada UMK dan UM pengerjaan logam di LIK
Takaru. Selain, wawancara, dua kali focus group discussion (FGD) dilakukan di
Desa Kebasen termasuk dengan sepuluh (10) pemilik perusahaan lokal untuk
membicarakan kebutuhan-kebutuhan mereka dalam upaya mengembangkan usaha-usaha
mereka dan menilai manfaat atau kualitas dari pelatihan-pelatihan yang mereka pernah
dapatkan dari pemerintah maupun swasta dalam lima tahun terakhir.
Secara umum,
kemampuan teknis dari industri pengerjaan logam di Tegal didapat dari suatu
sejarah yang panjang dari pengalaman masyarakat di kabupaten tersebut dalam
membuat barang dari logam atau industri sejenisnya. Dengan akumulasi
pengetahuan teknis mereka lebih dari 20 tahun lamanya, sejak kegiatan
subcontracting pertama dimulai di kabupaten tersebut, pengusaha-pengusaha logam
di Tegal sekarang mampu membuat berbagai macam mesin pertanian dan industri,
komponen otomotif dan kapal laut. Namun demikian, kualitas dari kebanyakan
produk masih relatif buruk. Hanya sejumlah kecil perusahaan yang bisnis
utamanya melayani perusahaan besar seperti KI menghasilkan produk dengan
kualitas baik. Menghasilkan dan mempertahankan kualitas baik menjadi suatu
perhatian serius dari KI. Di perusahaan seperti itu, kemampuan untuk mewujudkan
teknologi yang ditransfer dari luar dalam bentuk produk yang dihasilkan sesuai
spesifikasi yang diminta dikembangkan secara serius (Iman dan Nagata 2002).
Hasil survei menemukan bahwa sumber utama teknologi atau pengetahuan dari luar
adalah UB, kebanyakan cabang-cabang dari perusahaan-perusahaan asing seperti KI
ke subkontrak lokalnya (yakni perusahaan-perusahaan inti). Subkontraktor inti
memasok komponen alat-alat berat ke KI. Selain UB dan pemerintah, beberapa
pemilik toko eceran lokal juga bertindak sebagai penyedia pengetahuan dengan
menginformasikan perusahaan logam lokal mengenai preferensi konsumen, permintaan,
dan inovasi-inovasi baru. Seorang pemilik perusahaan lokal mengatakan bahwa
pemilik toko eceran menciptakan produk-produk baru (sesuai kebutuhan pasar) dan
meminta perusahaan-perusahaan logam lokal untuk membuatnya. Sementara untuk KI,
kualitas adalah prioritas pertama, pemilik-pemilik toko eceran pada umumnya
menekankan biaya rendah di atas kualitas. Untuk banyak pemilik-pemilik
perusahaan (kebanyakan dari kategori UMI) yang ditolak oleh KI sebagai
subkontraktor-subkontrak inti-nya, karena mereka tidak mempunyai kapasitas
untuk menghasilkan komponen-komponen dengan kualitas baik sesuai permintaan
(mereka tidak memiliki mesin, tenaga kerja dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan), toko-toko grosir/eceran adalah pilihan mereka satu-satunya untuk
berhubungan bisnis. Mereka menjual ke toko-toko tersebut produk-produk akhir
yang sederhana seperti kerekan dan jendela-jendela kapal laut. Walaupun toko
tersebut bisa minta terlebih dahulu suatu contoh barang, sedikit penekanan
terhadap presisi. Atau, jika mereka beruntung, mereka bisa menjadi plasma bagi
subkontraktor-subkontraktor inti dari KI.
Untuk
mendapatkan akses teknologi dari KI, perusahaan-perusahaan lokal harus terlebih
dahulu menjadi subkontraktornya, dan perusahaan-perusahaan lokal tersebut harus
bisa membuktikan terlebih dahulu bahwa mereka punya kemampuan untuk membuat
komponen-komponen dengan kualitas tinggi dan bisa memenuhi jadwal penyerahan
yang ketat. Setiap calon subkontraktor diperiksa terlebih dulu apakah
perusahaan tersebut memiliki mesin, tenaga kerja, fasilitas-fasilitas, berbadan
hukum, dan memakai standar-standar ISO yang diharuskan. Setelah itu, para calon
tersebut diharuskan membuat suatu contoh komponen dengan syarat-syarat yang
ditetapkan terlebih dahulu. Menurut seorang pemilik perusahaan inti dari KI
yang diwawancarain, sebelum suatu kesepakatan ditanda tanganin, KI sering minta
suatu percobaan proses produksi dalam jumlah yang banyak, dengan melalui
berbagai pengujian kualitas. Jika perusahaan-perusahaan local calon
subkontraktor inti bisa membuat suatu produk tertentu pada suatu jadwal tetap
dan dengan kualitas yang konsisten, maka mereka diberikan suatu lisensi untuk
membuat bagian-bagian produk yang berbeda, dan dengan itu calon-calon
perusahaan inti tersebut memperluas macam-macam produk mereka. Dalam beberapa
tahun terakhir, banyak perusahaan logam lokal di Tegal yang diuji kelayakannya
sebagai subkontraktor-subkontraktor inti bagi KI melalui sejumlah pesanan,
tetapi, pada akhirnya, hanya sejumlah kecil perusahaan local yang diterima; dua
diantaranya termasuk di dalam sampel survei.
Selama survei,
ditemukan lebih banyak UM dan UK dibandingkan UMI yang mampu memenuhi
persyaratan menjadi subkontraktor. Hanya ada beberapa UMI yang melakukan
subcontracting secara tidak langsung dengan UB lewat keterkaitan plasma dengan
subkontraktor-subkontraktor inti. Dari hasil wawancara dengan beberapa pemilik
UMI,keterbatasan modal dan keahlian, serta tidak adanya akses ke informasi
merupakan tiga (3) hambatan utama menjadi subkontraktor. Mereka tidak punya
uang cukup untuk membeli mesin yang dibutuhkan dan menggaji banyak pekerja.
Mereka sering menggunakan mesin-mesin tua atau bukas atau yang
dibuat/direkayasa sendiri. Jika mereka menggaji orang, sering kali
pekerja-pekerja berpendidikan rendah atau dengan sedikit atau tanpa pengalaman
karena lebih murah. Jadi semua proses produksi sangat tergantung pada
pengetahuan atau keahlian si pemilik usaha Sejak banyak pemilik UMI
mengembangkan keahlian mereka lewat bekerja di bengkel-bengkel kecil dan jarang
sekali mendapatkan pelatihan-pelatihan formal, mereka memiliki
kesulitan-kesulitan dalam membaca petunjuk-petunjuk teknis dan sebaliknya lebih
tergantung pada meng-copy contoh-contoh, yang menyebabkan hasil yang kurang
akurat. Jadi, mereka kekurangan kemampuan teknis untuk memproduksi
komponen-komponen yang kompleks dengan presisi yang diharuskan oleh
perusahaan-perusahaan pemberi pesanan. Juga, karena keterbatasan informasi dan
tidak memiliki keahlian, mereka tidak tahu bagaimana memenuhi standar-standar ISO.
Mereka mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah.
Pemerintah memberikan beberapa informasi, tetapi mereka juga membutuhkan
bantuan langsung yang tidak selalu bisa didapat dari pemerintah.
PT. Prima Karya
(PK) termasuk dari dua subkontraktor inti dari KI yang diwawancarain, yang
berspesialisasi dalam pembuatan bagian-bagian dan komponen-komponen dari
alat-alat berat, termasuk alat-alat mesin, dasbor, dan bagian-bagian dari mesin
pengangkat barang PK didirikan pada tahun 1983 dan pada awalnya membuat antara
lain tabung-tabung penyemprot dan mesin-mesin pertanian seperti traktor-traktor
tangan. Pada pertengahan dekade 80an, untuk pertama kalinya PK memenangkan
suatu kontrak dari sebuah perusahaan besar konglomerat domestik untuk membuat
mesin-mesin pengupas kopi dalam jumlah yang besar, tetapi akibat krisis ekonomi
1997/98, kontrak tersebut dihentikan. Pada tahun 1986, PK berhasil menjadi satu
dari pemasok-pemasok lokal utama untuk KI. Rata-rata per tahun, PK menghasilkan
sekitar Rp 1,2 miliar. Dapat dikatakan bahwa perusahaan ini termasuk diantara
subkontraktor-subkontraktor lokal yang sangat berhasil yang mendapat banyak
perhatian di dalam studi-studi mengenai kinerja industri pengerjaan logam di
Tegal.
Setelah memenangkan suatu kontrak (menjadi subkontraktor inti), perusahaan
lokal tersebut mendapatkan akses ke berbagai pelatihan yang diberikan oleh
perusahaan pemberi kontrak tersebut.Menurut pemilik dari sebuah perusahaan
subkontraktor dari KI, pelatihan-pelatihan yang pernah didapatnya membahas
langsung kebutuhan-kebutuhan teknis dari para subkontraktor dalam memenuhi
persyaratan-persyaratan produksi dari KI. Ahli-ahli orang Indonesia dari kantor
KI di Indonesia yang memberikan pelatihan-pelatihan tersebut menggunakan suatu
cara pengajaran yang memberi dengan jelas pengetahuan yang diperlukan dan
menekankan pada aplikasi-aplikasi praktis, dengan 90 persen dari waktu
pelatihan digunakan dalam praktek langsung untuk mendapatkan pengalaman.
Pelatih-pelatih juga membantu subkontraktor-subkontraktor mengidentifikasi
problem-problem bisnis yang dihadapi para peserta dan penanggulangannya. Namun
demikian, menurut pemilik-pemilik dari dua perusahaan inti dari KI tersebut,
pelatihan yang diberikan tidak untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka,
melainkan hanya untuk bisa berproduksi dengan biaya rendah. Selain itu, KI
memang membantu mereka mendapatkan kemampuan memproduksi komponen-komponen,
tetapi tidak terlalu tertarik untuk meningkatkan kemampuan mereka dari
spesialisasi membuat komponen ke kemampuan membuat atau merakit produk-produk
jadi.
Peran Universitas dan Lembaga R&D
Sejumlah bukti terutama di NM menunjukkan bahwa universitas dan lembaga
R&D bisa sangat berperan dalam membantu UMK dalam pengembangan teknologi
dan kegiatan inovasi produk maupun proses produksi. Di Indonesia, walaupun jumlah universitas swasta dan pemerintah sangat
banyak dan tersebar di seluruh propinsi, namun peran mereka dalam peralihan
teknologi ke UMK masih sangat kecil, dan dari mereka yang berperan cukup aktif
kebanyakan adalah universitas negeri seperti Universitas Indonesia (UI) lewat
UKM Center-nya, Institut Teknologi Bandung, terutama dalam mendukung
kewirausahaan berbasis inovasi, Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas
Brawijaya (Malang), dan Universitas Hasanuddin (Makassar). Sedangkan dari pihak
swasta, universitas-universitas yang cukup serius dalam membina bukan hanya UMK
tetapi juga UM di wilayah sekitarnya adalah termasuk Universitas Kristen
Satyawacana, dan fakultas pertanian Universitas Ekasakti (Padang) yang memiliki
Sentra Inovasi Teknologi. Ada dua penyebab utama masih lemahnya peran
universitas di Indonesia dalam kemitraan bukan hanya dengan UMK tetapi juga
dengan UM (bahkan juga degan UB), terutama dalam pengembangan teknologi. Pertama,
perhatian dari universitas yang kurang. Walaupun sebenarnya setiap universitas
mempunyai suatu wadah untuk melakukan hal ini, yakni lewat pengabdian
masyarakat yang mana setiap dosen tetap wajib melaksanakannya. Namun dalam
kenyataannya, banyak universitas melakukan kegiatan tersebut hanya sekedar
memenuhi kewajiban, yang akhirnya tidak terjadi suatu peralihan teknologi yang
signifikan dari universitas ke UMK. Kedua, kekurangan dana dan staf di
perguruan tinggi untuk bisa melakukan kerjasama yang optimal dengan UMK,
misalnya dalam kegiatan R&D atau inovasi.
Sebenarnya
pemerintah pernah berupaya mengembangkan suatu kerjasama yang intensif antara
universitas dengan UMK dan juga UM pada masa Orde Baru. Upaya ini dilakukan
oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM (sebut Depkop) yang menjalin kerjasama
dengan universitas-universitas negeri diseluruh Indonesia. Setiap tahun
diadakan pertemuan akbar dengan universitas-universitas mitra Depkop di Jakarta
dengan acara utama membahas hasil pembinaan UMK dan UM oleh universitas mitra t
dan pemberian penghargaan bagi universitas yang paling aktif atau berhasil
dalam menjalankan suatu program pengembangan UMK dan UM. Sayangnya, setelah
Orde Baru lenyap, tidak kedengaran lagi kegiatan tersebut; walaupun menurut
informasi dari Depkop sebenarnya kerjasama tersebut tetap ada dan banyak
diantara universitas-universitas mitra yang masih aktif membantu UMK dan UM.
Dalam hal
lembaga R&D, kebanyakan adalah milik pemerintah yang didominasi oleh
Departemen Perindustrian, dan dua badan non-departemen, yakni Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah Kementerian Negara Penelitian dan
Teknologi (Menristek), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan
R&D dari Departemen Perindustrian dikoordinasikan oleh sebuah badan bernama
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) yang terdiri dari 12 lembaga
R&D pada tingkat nasional dan sejumlah lembaga R&D pada tingkat
regional. Sebelum Departemen Perindustrian dipisahkan dari Departemen
Perdagangan, pengembangan UMK dan UM di sektor industri manufaktur dan sektor
perdagangan dilakukan oleh tiga direktorat general (DG), yakni DG untuk
industri kecil dan menengah dan perdagangan, DG untuk industri logam, mesin,
dan elektronik, dan DG untuk industri kimia dan produk-produk agro dan
kehutanan. Kegiatan-kegiatan dari tiga DG tersebut lewat lembaga-lembaga
R&D-nya adalah termasuk pengembangan produksi dan teknologi untuk UMK dan
UM di sektor industri manufaktur, diantaranya, pengkajian terhadap penerapan
teknologi-teknologi tepat guna, disain produk-produk kulit, bantuan teknologi
untuk mengembangkan contoh-contoh dari produk-produk keramik, manajemen
kualitas dan monitoring produksi, dan pengembangan teknologi tepat guna untuk
pengolahan minyak sawit ((Ibrahim,, 200;Tambunan, 2010).
Selain itu,
saat ini Departemen Perindustrian memiliki 19 pusat teknik atau yang dikenal
dengan sebutan balai besar dan 13 pusat penelitian industri dan perdagangan dan
standarisasi (BRSIP) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari industri-industri
lokal, termasuk UMK. Pusat-pusat tersebut tersebar di banyak kota-kota besar di
sejumlah propinsi, yakni Jakarta, Bogor, Bandung, D.I. Yogyakarta, Bandar
Lampung, Padang, Samarinda, Banjarbaru, Surabaya, Menado, Banda Aceh, Makasar,
Medan, Ambon, Pontianak, Palembang dan Semarang. Pusat-pusat tersebut mencakup
bermacam industri, yakni produk-produk kimia, makanan dan minuman, bubuk kertas
dan kertas, keramik, tekstil, batik, produk-produk dari logam, kulit, karet,
plastik, dan kerajian-kerajinan. Misalnya, balai logam memberikan berbagai
dukungan seperti R&D, sertifikasi, pengujian, dan perekayasaan, dan
pelatihan di bidang logam kepada pengusaha-pengusaha logam. Selain itu, balai
tersebut juga memberika pelatihan keterampilan kepada lulusan-lulusan sekolah
menengah atas (SMA) (Tambunan, 2003,2010).
Namun, menurut
sejumlah pengamat, lembaga-lembaga R&D dari BPPI lebih banyak terlibat
dalam sertifikasi produk, dan kegiatan-kegiatan pelatihan dan pengujian untuk
perusahaan-perusahaan di industri manufaktur, terutama BUMN dan UMK dan UM,
dibandingkan kegiatan-kegiatan R&D yang sebenarnya. Menurut Lall dan Rao
(1995), misalnya, salah satu kelemahan dari lembaga-lembaga R&D dari BPPI
adalah kurangnya staf atau peneliti dengan kualitas tinggi, dan kebanyakan dari
staf yang ada tidak mempunyai wawasan yang cukup mengenai
perkembangan-perkembangan teknologi paling akhir di dalam bidang-bidang mereka.
Lagi pula, banyak laboratorium di lembaga-lembaga R&D tersebut masih
menggunakan peralatan-peralatan yang sudah tua karena kekurangan dana, terutama
sejak krisis ekonomi 1997/98 yang membuat pemerintah Indonesian nyaris
bangkrut.
Pada tahun
2005, Menristek mengeluarkan kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional
untuk periode 2005-2009. Dalam kebijakan ini, kegiatan inovasi termasuk di UMK
menjadi salah satu sasaran kunci.. Sebelumnya, untuk membantu pendanaan
kegiatan pengembangan teknologi bukan hanya di UMK tetapi juga di UM, Menristek
mendirikan Pusat Teknologi Bisnis (BTC) pada tahun 2003. Pendirian BTC ini merupakan
suatu upaya kerjasama yang konkrit dari pemerintah dibawah BPPT dengan sektor
perbankan, perusahaan-perusahaan modal ventura, dan lembaga-lembaga lainnya.
UMK dan UM, lembaga-lembaga R&D, dan bank-bank adalah anggota-anggota dari
BTC. Wilayah kegiatan BTC mencakup proses produksi industri manufaktur,
pertanian, termasuk perikanan, jasa-jasa, teknologi informasi dan komunikasi
(ICT), dan lainnya. Hingga tahun 2007 jumlah anggota tercatat sebanyak 2.000
termasuk 180 UMK dan UM. Tingkat suku bunga untuk UMK dan UM waktu itu adalah
10% dan biaya jasa diterapkan oleh BTC (Tambunan, 2010).
Pada tahun
2008, BPPT mendirikan Pusat Inovasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (PI-UMKM)
yang tujuannya adalah mengembangkan unit usaha baru berbasis teknologi inovatif
dan meningkatkan penguasaan teknologi UMK dan UM yang sudah ada melalui
peningkatan interaksi dan keterkaitan antara rantai nilai inovasi dengan rantai
nilai produksi.
Sebenarnya, LIPI dan BPPT lebih baik dalam banyak hal dibandingkan
lembaga-lembaga R&D departemen, yakni dalam hal pendanaan, alat dan
staf/peneliti. Hampir semua staf/peneliti di R&D
bergelar PhD dari luar negeri. Diantara dua lembaga
pemerintah non-departemen tersebut, BPPT lebih banyak PhD-nya. Bahkan dapat
disimpulkan bahwa diantara lembaga-lembaga pemerintah baik departemen maupun
non-departemen yang membantu UMK dan UM dalam pengembangan teknologi, BPPT
sebagai lembaga yang memimpin. Posisi ini kemungkinan ada hubungannya dengan
salah satu fungsi penting dari BPPT yang memang adalah melakukan
penelitian-penelitian untuk mencari teknologi-teknologi tepat guna bagi UMK dan
UM dan pembangunan komunitas/wilayah. Program-program yang berhubungan dengan
fungsi ini mencakup beragam sektor, mulai dari mengembangkan teknologi
manufaktur tepat guna, perekayasaan, hortikultura, perikanan, teknologi
pupuk-bio untuk pembiakan peternakan sapi, teknologi daur ulang sisa-sisa dari
kedelai, dan banyak lagi. Dalam melaksanakan setiap proyek atau program, BPPT
selalu bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah terlait dan juga dengan
sektor swasta seperti asosiasi bisnis, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) maupun
sejumlah perusahaan untuk memastikan adanya kepemilikan bersama atas
proyek-proyek tersebut, dan juga menjamin pemeliharaan di masa depan dan untuk
mencapai kontinuitas dari proyek tersebut setelah diserahkan sepenuhnya kepada
pihak bersangkutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, BPPT telah mendirikan
banyak pusat-pusat penelitian/pengembangan teknologi seperti Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi (P2KT), Pusat Pengembangan Keunggulan Komparatif Daerah dan
Peningkatan Kapasitas Masyarakat (PUDPKM), dan Pusat Pengembangan Teknologi
Tepat Guna (PTTG)(Tambunan, 2010).
Selain itu,
setiap tahun, BPPT, bekerjasama dengan Menristek, memberikan bantuan-bantuan
teknis kepada UMKM yang menonjol (dalam hal kinerja) di banyak propinsi,
termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, , Nusa Tenggara Barat (NTB),
Bengkulu, Banda Aceh, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
dll. Dalam menjalankan program ini, BPPT bekerjasama tidak hanya dengan
pemerintah-pemerintah daerah tetapi juga dengan universitas-universitas
setempat, termasuk ITB (Bandung, Jawa Barat Java), Universitas Negeri Malang
(Malang, Jawa Timur), Institut Teknologi 10 November (Surabaya, Jawa Timur),
Universitas Negeri Mataram (Mataram, Lombok Barat), Universitas Negeri Bengkulu
(Kota Bengkulu, Bengkulu), Universitas Negeri Sam Ratulangi (Menado, Sulawesi
Utara), Universitas Negeri Haluoleo (Kendari, Sulawesi Tenggara), Universitas
Negeri Hasanudin (Makasar, Sulawesi Selatan), dan Universitas Negeri Padang
(Padang, Sumatera Barat) (Tambunan, 2010).
LIPI juga memiliki sejumlah aktivitas walaupun tidak sebanyak yang dilakukan
oleh BPPT. Salah satunya adalah program yang bertujuan mendukung pengembangan
teknologi di daerah (IPTEKDA). Lewat program ini, LIPI aktif terlibat dalam
membantu pengembangan teknologi bukan hanya di UMK tetapi juga di UM, tidak
hanya di sektor industri manufaktur tetapi juga di sektor pertanian disemua
propinsi. Tujuannya adalah membantu peningkatan kapasitas produksi di UMK dan
UM, dengan memberi berbagai macam bantuan, mulai dari pendanaan, teknologi,
pelatihan pendampingan, hingga penyediaan bahan baku. Selama periode 1998-2004,
tercatat ada 317 kegiatan program yang tersebar di sejumlah propinsi di Jawa
dan wilayah di luar Jawa (Table 7). Teknologi-teknologi yang sudah ditransfer
hingga saat ini ke UMK dan UM yang menjadi target dari program tersebut adalah
termasuk teknologi makanan dan minuman ringan, teknologi perekayasaan untuk
produk-produk kerajinan, teknologi untuk air bersih, teknologi untuk
pengembangan barang-barang berbasis logam, dan teknologi untuk pengembangan
perikanan dan peternakan.
Sekarang
pertanyaan, apakah peran dari LIPI, BPPT dan Departemen Perindustrian lewat
lembaga-lembaga R&D mereka sudah optimal dalam mentransfer teknologi ke
UMK? Sebelum menjawabnya, perlu diartikan terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan “optimal”. Mungkin pertanyaan itu bisa diformulasikan dengan cara lain:
sejauh mana tingkat efektifitas dari bantuan yang diberikan selama ini oleh
universitas dan lembaga R&D kepada UMK di Indonesia. Paling tidak, ada dua
cara atau indikator untuk mengukurnya. Pertama, kinerja UMK yang dibantu.
Apabila UMK yang dibantu sekarang sudah bisa melakukan ekspor, sedangkan
sebelum dibantu hanya menjual ke pasar lokal, maka dapat dikatakan bahwa
bantuan tersebut efektif. Kedua, berapa banyak UMK di Indonesia yang dibantu
oleh unversitas dan lembaga R&D. Jika hanya, bilang saja, 20% dari jumlah UMK
di Indonesia, maka dapat dikatakan bantuan tersebut tidak efektif, karena hanya
sedikit dari mereka yang punya akses ke bantuan tersebut.
Untuk pertanyaan pertama itu, menjawabnya tidak mudah sejak jawabannya hanya
bisa didapat dari lapangan lewat survei atau observasi atau monitoring langsung
terhadap perubahan kinerja dari UMK yang mendapatkan teknologi dari universitas
atau lembaga R&D. Dari sejumlah studi yang ada, pada umumnya, jawabannya
adalah tidak efektif. Misalnya, sebuah penelitian oleh Sandee (2004) terhadap
klaster industri genteng di Boyolali (Jawa Tengah. Ia mengatakan bahwa salah
satu penyebab tidak efektifnya bantuan pemerintah dalam meningkatkan
kapabilitas teknologi atau teknik produksi dari pengusaha-pengusaha yang
dilatih adalah karena materi serta informasi lainnya yang diberikan tidak
selalu sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengusaha-pengusaha di kluster
tersebut. Sebelumnya,.Thee (1998) juga pernah berpendapat bahwa pada umumnya,
lembaga-lembaga R&D yang membantu UMK tidak dapat menyediakan informasi
teknis atau jasa-jasa pendukung teknologi yang tepat kepada
perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia.
Untuk jawaban
kedua tersebut, data yang ada menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari
jumlah UMK di Indonesia yang pernah dibantu oleh pemerintah (data untuk
universitas tidak tersedia). Misalnya, data SUSI dari BPS mengenai jumlah UMK
dengan pekerja yang terdiri dari dua kelompok yaitu yang pernah dan tidak
pernah mengikuti pelatihan-pelatihan dan mendapatkan bantuan-bantuan teknis
lewat berbagai macam program baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
yang dilakukan oleh perusahaan sendiri atau dari sumber-sumber lain. Walaupun
data ini bukan khusus soal bantuan teknologi dari lembaga-lembaga R&D
terhadap UMK, namun bisa memberi suatu gambaran mengenai jangkauan dari
program-program pemerintah, termasuk bantuan teknologi/teknis, untuk UMK.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 8, pekerja-pekerja dari kebanyakan
perusahaan yang disurvei tidak pernah mengikuti sekalipun juga pelatihan atau
mendapat penyuluhan atau dalam bentuk bantuan lainnya mengenai teknis produksi
selama bekerja di perusahaan tersebut.
Dua gambar berikut menunjukkan bahwa kebanyakan dari perusahaan yang disurvei
dari kategori “pekerja pernah” terdapat di Jawa dan Bali. Paling sedikit, ada
tiga kemungkinan penjelasan mengenai distribusi yang pincang ini. Pertama,
fasilitas-fasilitas pelatihan yang disediakan oleh badan-badan di luar
perusahaan (misalnya, pemerintah) kebanyakan memang terdapat di Jawa dan Bali,
yang merupakan wilayah pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Kedua, memang
sebagian besar dari jumlah UMK di Indonesia terdapat di Jawa mengikuti pola
distribusi populasi antar wilayah. Ketiga, UMK di Jawa pada umumnya lebih mampu
dan mungkin juga lebih menyadari pentingnya melakukan pelatihan-pelatihan bagi
pekerja dibandingkan rekan-rekan mereka di luar Jawa.
Kesimpulan
Studi ini mengkaji sejauh mana peran dari UMB (termasuk PMA), universitas dan
lembaga R&D dalam membantu pengembangan teknologi dan inovasi di UMK, yang
merupakan motor penggerak perkembangan dan pertumbuhan ekonomi rakyat di
Indonesia. Jadi, walaupun, paling tidak secara teori, UMK bisa mendapakan
teknologi dari sejumlah sumber eksternal, penelitian ini hanya fokus pada peran
dari tiga kelompok tersebut. Hasil penelitian ini datang dengan sejumlah
penemuan penting. Pertama, kerjasama bisnis antar sesama perusahaan, termasuk
antara UMB dan UMK di Indonesia hingga saat ini masih lemah, tidak sekuat
seperti di, Jepang, misalnya. Upaya-upaya pemerintah Indonesia hingga saat ini
untuk meningkatkan kerjasama tersebut, terutama pada era Orde Baru lewat
kebijakan ‘kandungan lokal’ ditambah lagi dengan dibuatnya UU kemitraan
ternyata belum berhasil membuat struktur industri di dalam negeri seperti di
Jepang yang keterkaitan produksi lewat subcontracting antara UMB dan UMK sangat
kuat. Paling tidak ada dua penyebab penting:
(1) bermitra bisnis, apalagi dalam bentuk subcontracting belum merupakan budaya
di Indonesia. Di pihak UMK, kelompok usaha tersebut lebih suka tergantung pada
bantuan-bantuan dari pemerintah daripada melakukan upaya-upaya untuk
bekerjasama dengan UMB. Namun sikap ini akan berubah sejak Indonesia sekarang
ini sedang dalam proses liberalisasi ekonomi nasional sebagai komitmen Indonesia
terhadap WTO, ASEAN (AFTA) dan APEC. Ini artinya bahwa industri nasional
(seperti juga sektor-sektor ekonomi domestik lainnya) tidak bisa lagi
diproteksi, dan, efisiensi perusahaan/proses produksi menjadi sebuah kunci
utama bagi tingkat daya saing setiap perusahaan yang ada di Indonesia. Salah
satu cara untuk mencapai efisiensi yang tinggi adalah melakukan kemitraan
strategis antar sesama perusahaan, termasuk subcontrafcting dalam proses
produksi. Lagipula, dalam, sebut saja, 10 tahun belakangan ini, keterkaitan-keterkaitan
produksi regional atau global telah menjadi semakin penting di dalam
perdagangan regional atau dunia, dan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan
yang besar dari kesempatan-kesempatan pasar baru yang muncul akibat perubahan
pola perdagangan internasional tersebut, perusahaan-perusahaan (termasuk UMKM)
di Indonesia harus juga telibat di dalam sistem produksi regional/global yang
baru ini; dan
(2)
pada umumnya UMK di Indonesia masih
sangat lemah dalam penguasaan teknologi dasar, yang merupakan salah satu
prasyarat utama untuk menjadi subkontraktor yang kompetitif bagi UMB. Hal ini
membuat UMB pada umumnya lebih cenderung untuk melakukan sendiri kegiatan
produksi atau bekerjasama dengan sesama UMB. Membuat UMK siap sebagai
subkontraktor yang kompetitif membutuhkan waktu dan ekstra pengeluaran bagi UMB
yang pada akhirnya bisa merugikan UMB itu sendiri.
Kedua, melakukan subcontracting itu sendiri bukan suatu jaminan bagi
keberhasilan peralihan teknologi dari UMB (termasuk PMA) ke UMK. Seperti yang
ditunjukkan oleh kasus Tegal di dalam studi ini, UMK itu sendiri harus memiliki
suatu kapasitas penyerap minimum, yakni, seperti yang telah dibahas sebelumnya,
penguasaan teknologi/pengetahuan dasar dari proses produksi yang akan
dikerjakan di dalam subcontracting. Dalam hal ini, UMK dengan pemilik atau
pekerja yang sebelumnya pernah bekerja cukup lama di UMB dalam bidang yang sama
mempunyai harapan keberhasilan lebih tinggi sebagai subkontraktor dibandingkan
UMK yang pemilik dan pekerjanya tidak mempunyai pengalaman bekerja di UMB atau
hanya berdiploma sekolah dasar (SD).
Ketiga, kerjasama
antara universitas dan lembaga R&D dengan dunia usaha pada umumnya dan UMK
pada khususnya di Indonesia
juga masih belum membudaya seperti halnya di NM. Di kelompok universitas swasta, hanya sedikit sekali dari mereka yang
melakukan pembinaan, pelatihan, pendampingan dan melakukan kegiatan R&D
bersama dengan UMK. Jumlah universitas negeri yang punya program-program
pengembangan UMK lebih banyak daripada jumlah universita swasta. Namun, secara
umum, peran universitas dalam peralihan teknologi ke UMK di Indonesia masih
perlu ditingkatkan. Demikian juga kemitraan antara UMK dan lembaga R&D
belum menunjukkan suatu hasil yang signifikan. Belum ada bukti-bukti konkrit bahwa
bantuan teknis atau alih teknologi dari lembaga R&D ke UMK telah membuat
daya saing UMK Indonesia meningkat.
Daftar Pustaka
Chee, Peng Lim
(1981), “EEC Investment in ASEAN and the Transfer of Technology. A Malaysia
Case Study”, makalah, Conference on ASEAN-EEC, Economic Relations, Singapura.
Chew, Yoke-Tong dan Henry Wai-Chung Yeung (2001), “The SME Advantage: Adding
Local Touch to Foreign Transnational Corporations in Singapore”, Regional Study, 35(5),
431-48.
Coe, D. T., Helpman, E., dan Alexander W. Hoffmaister (1997), "North-South
R&D Spillovers," The Economic Journal 107: 13-149.
Cole, William
(1998a), “Bali’s Garment Export Industry”, dalam Hal Hill dan Thee Kian Wie
(eds.), Indonesia’s Technological Challenge, Research School of Pacific dan
Asian Studies, Australian National University, Canberra, and Institute of
Southeast Asian Studies, Singapore.
Cole, William (1998b), “Bali Garment Industry.
An Indonesian Case of Successful Strategic Alliance”, catatan, Jakarta: The Asia
Foundation.
Cole, William (2000),
"The Role and Encouragement of Business Alliances", dalam van Diermen
(ed.), “SME Policy in Indonesia:
Towards a New Agenda”, March, Jakarta
Dahlman, C.J., Ross-Larsonn, B. dan Westphal, L. (1985), “Managing
Technological Development: Lessons from the Newly Industrializing Countries”,
World Development, 15(6), 759-75.
Fransman, M. (1986), Technology and Economic Development, Wheatsheaf Books.
Freeman, Nick J. (2004), “Developing Entrepreneurship and SMEs in Southeast
Asia’s Transitional Economies”, dalam Denis Hew dan Loi Wee Nee (ed.),
Entrepreneruship and SMEs in Southeast Asia,
Singapura: ISEAS.
Grossman, G.M. dan
Helpman, E. (1993), Innovation and Growth in the Global Economy, Cambridge, Mass.:
the MIT Press.
Hew, Denis (2004),
“SME Policies and SME Linkage Development in Singapore”,
dalam Denis Hew dan Loi Wee Nee (ed.), Entrepreneruship and SMEs in Southeast Asia, Singapura: ISEAS.
Hobday, Michael
(1994), “Export-led Technology Development in the Four Dragons; The Case of
Electronics”, Development and Change, 25(2): 393-61.
Iman, Mohamad S.
dan Nagata, Akiya (2002), “Institutional Coordination Problem. An Obstruction
to Promotion of Industrial Backward Linkages”, makalah, School of Knowledge
Science Japan Advanced Institute of Science and Technology, Tatsunokuchi, Japan.
JICA (2000), “Study on Inter-firm Linkages and Financial Needs for the
Development of Small and Medium Scale Manufacturing Industry in Indonesia,” Jakarta: Japan International Cooperation
Agency bekerjasama dengan PT Kami Karya Nusantara.
JICA, (2004), “The Study on Strengthening Capacity of SMEs Clusters in
Indonesia: Final Report”, Japan International Cooperation Agency, Coordinating
Ministry for Economic Affairs, Ministry of Industry and Trade, and Sate
Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises, Jakarta: KRI
International Corp.
Kanapathy,
Vijayakumari (2004), “Entrepreneurship in Malaysia’s
Electronics Industry: The Role of SMEs”, dalam Denis Hew dan Loi Wee Nee (ed.),
Entrepreneruship and SMEs in Southeast Asia, Singapura:
ISEAS.
Kirk, J., dan
Miller, M. (1986), Reliability and Validity in Qualitative Research, Sage, Beverly Hills, CA.
Kuncoro, Mudrajad
(2008a), “Jejaring Koperasi dan UKM yang Berdaya Saing”, makalah, Lokakarya
Studi Latar Belakang RPJMN 2010-2014 bidang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, 15
Oktober, Bappenas, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad
(2008b), “Strategi Pengembangan UMKM di Tengah Krisis Keuangan Global”,
makalah, Rapat Kerja Nasional UMKMK Kadin, 21 Oktober, Jakarta.
Narayanan Suresh, (1999), “Factors Favouring Technology Transfer to Supporting
Firms in Electronics: Empirical Data from Malaysia,” Asia-Pacific Development
Journal, 6(1):55-72.
Narayanan Suresh, Y.W. Lai dan K.G. Cheah, (1997), Technology Transfer to Malaysia: The Electronics and Electrical Goods
Sector and the Supporting Industries in the Klang
Valley, Kuala Lumpur: United Nations Development
Programme.
Perry, M. dan Tan Boon Hui (1998), “Global Manufacturing and Local Linkages in Singapore”,
Environmental and Planning A, 30, 1603-24.
Radosevic, S.
(1999), International Technology Transfer and Catch-up in Economic Development,
Cheltenham dan Northamton: Edward Elgar.
Ramstetter, E.
(1999), “Comparisons of Foreign Multinationals and Local Firms in Asian
Manufacturing Over Time”, Asian Economic Journal, 13: 163-203.
Rasiah, Rajah
(1988), “The Semiconductor Industry in Penang: Implications for NIDL Theories,”
Journal of Contemporary Asia,18(2):24–46.
Rasiah, Rajah
(1990), “Review of Linkage Development in the Export Processing Manufacturing
Sector-Participation Focus on the Electrical/Electronics and Textile/Garment
Industries”, Consultancy Report prepared for the Government of Malaysia and
UNIDO, Kuala Lumpur.
Rasiah, Rajah. (1991), “Foreign Firms in Penang’s Industrial Transformation”,
Jurnal Ekonomi Malaysia,
Desember, 91-97.
Rasiah Rajah
(1992), “Foreign Manufacturing Investment in Malaysia,”
Economic Bulletin for Asia Pacific
63(1):63–77.
Rasiah, Rajah
(1993a), Pembahagian Kerja Antarabangsa: Industri Semikonduktor di Pulau
Pinang, Kuala Lumpur:
Malaysian Social Science Association Press.
Rasiah Rajah (1993b) "Free Trade Zones and Industrial Development in Malaysia", dalam Jomo K.S. (ed.),
Industrializing Malaysia: Policy, Performance and Prospects, London: Routledge.
Rasiah, Rajah (1994), “Flexible Production Systems and Local Machine Tool
Subcontracting: Electronics Component Multinationals in Malaysia.” Cambridge Journal of
Economics,18(3):279–98.
Rasiah, Rajah (1995), Foreign Capital and Industrialization in Malaysia, New York:
St Martin’s.
Romer, P. (2005), “The Arc of Science”, makalah, World Bank/CREI conference on
‘R&D and Innovation in the Development Process. A New Look at Theory,
Evidence and Policies’, Universitat Pompeu Fabra, Barcelona.
Sato, Yuri (2000),
“Linkage Formation by Small Firms: The Case of a Rural Cluster in Indonesia,”
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 36(1): 137–66.
Soesastro, Hadi (1998), “Emerging Patterns of Technology Flows in the
Asia-Pacific Region: The Relevance to Indonesia”, dalam Hal Hill dan Thee Kian
Wie (eds.), Indonesia’s Technology Challenge, Research School of Pacific and
Asian Studies, Australian National University and Institute of Southeast Asian
Studies.
Supratikno,
Hendrawan (2001), “Subcontracting Relationship in Indonesian Manufacturing
Firms”, Gadjah Mada International Journal of Business, 3(2): 115-127
TAF (2000),
“Strategic Alliances and Development of Small and Medium-Scale Enterprises in Indonesia”, Final Report, May, The Asia
Foundation, Jakarta.
UNCTC (1987),
Transnational Corporations and Technology Transfer; Effects and Policy Issues,
ST/CTC/86, United Nations, New York,
Tambunan, Tulus
T.H. (2000), Development of Small-Scale Industries During the New Order
Government in Indonesia, Aldershot, dkk.: Ashgate.
Tambunan, Tulus
T.H. (2003), “Transfer Teknologi Kepada Usaha Kecil” (technology transfer to
small enterprises), Working Paper 1, November, Jakarta-Bandung: Indonesian Small Business
Research Center
(ISBRC-PUPUK).
Tambunan, Tulus
T.H. (2006a), Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the Asia-Pacific Perspective,
LPFE-Usakti, Jakarta.
Tambunan, Tulus
T.H. (2006b), “Transfer of Technology to and Technology Diffusion among
Non-farm Small and Medium Enterprises in Indonesia”,
Copenhagen Journal of Asian Studies,
24..Tambunan, Tulus T.H. (2006b), Perkembangan Industri Nasional Sejak Orde
Baru Hingga Pascakrisis, Jakarta:
Penerbit Universitas Trisakti.
Tambunan, Tulus
T.H. (2010), “Technology and Skill Upgrading in Manufacturing Small and Medium
Enterprises (SMEs) with A Reference to the Roles of Government, Large
Enterprises, Universities and Public R&D Institutes: A Comparative Study
Between Japan and Indonesia”, Research Report, March, Jakarta: Center for
Industry, SME and Business Competition Studies, Trisakti University dan Tokyo:
the Sumitomo Foundation
Temenggung, Della (2006), “Technology Spillovers from Foreign Direct
Investment: Indonesian Manufacturing Industry’s Experience 1975-2000”, makalah
dalam seminar PhD, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian
National University, Canberra.
Thee, Kian Wie (1988), Industrialisasi Indonesia.
Analisis dan Catatan Kritis, Jakarta Pustaka Sinar Harapan.
Thee Kian Wie
(1990a), “Indonesia: technology transfer in the manufacturing industry”, dalam
Hadi Soesastro and Mari Pangestu (ed.), Technological Challenge in the Asia
Pacific Economy, Sydney, Allen & Unwin: 23-43.
Thee Kian Wie
(1990b), “Prospects for Cooperation in Technology”, dalam Kim Seung Jin and Suh
Jang Won (ed.), Cooperation in Small and Medium-Scale Industries in ASEAN,
Kuala Lumpur: Asian and Pacific Development Centre: 40-55.Thee Kian Wie (1997),
“The Development of the Motor Cycle Industry in Indonesia”, dalam Mari E.
Pangestu dan Yuri Sato (ed.), Waves of Change in Indonesia's Manufacturing
Industry, Institute of Developing Economies (IDE), Tokyo: 93-111.
Thee, Kian Wie
(1998a), "The Development of the Motorcycle Industry in Indonesia",
dalam Mari E. Pangestu dan Yuri Sato (ed.), Waves of Change in Indonesia's
Manufacturing Industry, Tokyo: Institute of Developing Economies, 1997.
Thee, Kian Wie
(1998b), Determinants of Indonesia’s
Industrial Technology Development, dalam Hill dan Thee (ed.): 117-35.Thee Kian
Wie (2005), “The Major Channels of International Technology Transfer to
Indonesia: An Assessment”, Journal of the Asia-Pacific Economy, 10(2): 214-36.
Thee Kian Wie dan
Pangestu, Mari (1994), “Technological Capabilities and Indonesia’s Manufactured
Exports”, revised report for UNCTAD/SAREC Project on Technological Dynamism and
the Export of Manufactures from Developing Countries, January.
Yin, R. K. (1989), Case Study Research: Design and Methods, Sage, Beverly
Hills, CA.
Yusuf, Shahid, M. Anjum Altaf, Barry Eichengreen, Sudarshan Gooptu, Kao
Oleh: Tulus T.H.
Tambunan dan Ida Busnety -- Pusat Studi
Industri, UKM dan Persaingan Usaha, Universitas Trisakti
SARAN
·
diperlukan dukungan
yang penuh dari pemerintah, tidak hanya mendukung secara lisan atau melalui
pidato atau undang undang tapi benar benar diperlukan dukungan secara langsung
sehingga masyarakt lebih mudah untuk melakukan usaha menengah (UM), usaha besar
(UB), dan digabung menjadi usaha menengah dan besar (UMB),